Salah Kaprah Vietnam Tabrak KRI di Zona Tumpang Tindih
GERBANGPATRIOT.COM – Jakarta, Upaya kapal perikanan Vietnam memprovokasi dan menabrak KRI Tjiptadi-381di Laut Natuna dinilai salah kaprah. Kapal Vietnam disebut sudah melanggar hukum internasional.
Demikian pendapat yang disampaikan Guru Besar Universitas Hukum Internasional Diponegoro, Semarang, Profesor Eddy Pratomo. Hukum internasional yang dilanggar adalah International Regulations for Preventing Collisions at Sea (Peraturan Internasional untuk Mencegah Tabrakan di Laut) 1972 (COLREGS), dan International Convention for the Safety of Life at Sea (Konvensi Internasional untuk Keselamatan Kehidupan di Laut) 1974 (SOLAS).
“Tindakan kapal Vietnam yang melakukan ‘tumburan’ terhadap KRI Tjiptadi-381 jelas melanggar hukum internasional,” kata Eddy dalam keterangan persnya.
Eddy menilai sikap kru KRI Tjiptadi-381 yang menahan diri sudah tepat. Tindakan mereka dianggap sudah sesuai dengan hukum internasional.
“Tindakan KRI Tjiptadi-381 yang menahan diri juga sudah tepat karena berdasarkan hukum internasional, khususnya pada kasus Guyana v Suriname (dalam forum Arbitral Tribunal UNCLOS pada tahun 2004), penggunaan use of force hanya dapat dibenarkan jika memenuhi tiga syarat: tidak terhindarkan, kewajaran (reasonableness) dan keharusan (necessity),” kata Eddy.
Namun, terlepas dari itu, Eddy menyarankan semua pihak agar tak buru-buru menentukan lokasi kejadian adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Menurut Eddy, ada kemungkinan titik terjadinya peristiwa itu berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang sama-sama diklaim kedua belah pihak, yakni Indonesia maupun Vietnam. Bila demikian adanya, maka dua pihak sama-sama berhak melakukan patroli dan menghalangi penegakan hukum oleh negara lain.
“Pemerintah RI sebaiknya memiliki standar pedoman bersama di wilayah tumpang tindih klaim seperti ini, sehingga penegakan hukumnya tidak selalu disamakan dengan wilayah ZEE lainnya yang sudah jelas,” kata Eddy.
Pendapat hampir senada disampaikan oleh Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Dia berpendapat ada masalah tumpang tindih klaim di titik terjadinya tabrakan.
“Insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara karena adanya klaim tumpang-tindih antara Indonesia dan Vietnam atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE),” kata Hikmahanto dalam keterangan persnya.
Tumpang-tindih yang dimaksud bukanlah soal laut teritorial di bawah kedaulatan negara, melainkan batas ZEE. ZEE merupakan laut lepas, negara yang bersangkutan punya hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut. Indonesia dan Vietnam belum punya perjanjian batas ZEE ini.
“Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya, nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang-tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya,” kata Hikmahanto.
Bagi Hikmahanto, cara Kemenlu menyelesaikan persoalan berlatar ZEE ini sudah tepat. Kemenlu mengajukan protes dengan cara memanggil Dubes Vietnam untuk Indonesia.
Protes yang dimaksud adalah bukan karena Vietnam melanggar ZEE Indonesia. Tetapi karena Vietnam menggunakaan cara penabrakan ke kapal Indonesia. Seharusnya, sambung Hikmahanto, negara ASEAN mengedepankan cara-cara musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
“Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan,” kata Hikmahanto.
Terkait perbatasan ZEE ini, Wapres Jusuf Kalla angkat bicara. JK mengatakan perbatasan ZEE ini memang menjadi pangkal gesekan kapal TNI AL dan kapal Vietnam.
“Kalau perbatasan Indonesia-Vietnam itu ‘kan masih berunding, batas kontinennya masih dibahas. Itulah yang terjadi, Indonesia mengklaim, Vietnam mengklaim. Maka, terjadi bentrok di situ,” kata Wapres JK.
Sumber : detik.com/Mon