NETWORK | Jakarta | Banten | Lampung

Pajak Tinggi, Layanan Publik, Kemandirian Ekonomi

Oleh Iman Handiman 

PEMERINTAH Indonesia tengah memperluas basis penerimaan negara dengan rencana mengenakan pajak pada barang-barang yang sebelumnya dikecualikan, seperti bahan pangan tertentu dan kebutuhan dasar. Langkah ini diambil dalam upaya meningkatkan pendapatan negara yang hingga kini masih didominasi oleh pajak, yang menyumbang sekitar 82,4 persen dari total penerimaan nasional. Angka ini seolah memberi stabilitas dalam pendanaan negara, tetapi pada saat yang sama mencerminkan ketergantungan yang cukup besar, yang bisa menjadi risiko serius di masa depan.

Mengapa Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, harus bergantung pada pajak? Sejauh mana ketergantungan ini sehat bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat?

PAJAK merupakan alat utama negara untuk membiayai pembangunan, terutama dalam penyediaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Negara-negara maju seperti Denmark dan Finlandia, yang dikenal dengan sistem pajak tinggi, mampu menjamin kualitas hidup yang baik bagi warganya. Di Denmark, misalnya, pajak penghasilan bisa mencapai 56 persen, namun hal itu diimbangi oleh layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial yang komprehensif. Pajak di sana benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Namun, di Indonesia, peningkatan pajak kerap tidak sejalan dengan kualitas layanan publik yang diharapkan masyarakat. Jalan rusak, minimnya fasilitas kesehatan, dan rendahnya kualitas pendidikan menjadi cermin nyata bagaimana alokasi dana pajak masih kurang efektif. Guru Besar Pajak dari Hubert H. Humphrey School of Public Affairs, Prof. Robert T. Kudrle, menegaskan bahwa tingginya pajak hanya akan diterima masyarakat jika pemerintah bisa mempertanggungjawabkan alokasinya dengan transparan.

Schumpeter dalam The Crisis of the Tax State menyatakan bahwa ketergantungan pajak harus diiringi dengan transparansi dan akuntabilitas. Ia menekankan bahwa pajak adalah bentuk kontrak sosial; ketika kontrak ini tidak diimbangi oleh layanan yang memadai, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan terganggu.

KONDISI ekonomi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang besar. Menurut data Bank Dunia, 20 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45 persen kekayaan nasional. Jutaan rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara kekayaan sebagian kecil individu terkaya setara dengan kekayaan 50 juta rakyat lainnya. Di tengah situasi ini, pajak yang lebih tinggi tanpa perbaikan layanan dapat meningkatkan ketidakpuasan sosial.

Sejarah menunjukkan bahwa ketidakpuasan atas beban pajak berlebih dapat memicu perubahan sosial ekstrem. Contohnya adalah Revolusi Prancis, yang dipicu oleh ketidakadilan ekonomi dan pajak tinggi bagi kaum jelata. Indonesia, walaupun belum sampai di titik itu, perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan pajak yang lebih tinggi bagi kelompok berpendapatan rendah.

INDONESIA, dengan kekayaan minyak, gas alam, batubara, dan mineral lainnya, seharusnya memiliki potensi besar untuk mendanai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada pajak. Negara-negara seperti Qatar dan Arab Saudi menggunakan hasil kekayaan alam, terutama minyak, untuk menopang ekonomi tanpa harus membebani rakyatnya dengan pajak penghasilan yang tinggi. Di Qatar, misalnya, tidak ada pajak penghasilan pribadi karena hasil minyak yang berlimpah mencukupi kebutuhan negara.

Prof. Paul Collier, dalam The Bottom Billion, menyoroti bahwa negara-negara kaya sumber daya seringkali tidak dapat memanfaatkannya secara optimal karena lemahnya institusi dan transparansi. Fenomena ini dikenal sebagai “kutukan sumber daya alam” atau natural resources curse, di mana alih-alih memanfaatkan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat, negara justru bergantung pada pajak untuk pendapatan.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengoptimalkan sumber daya alamnya agar ketergantungan pada pajak bisa berkurang. Namun, selama ini, pengelolaan kekayaan alam Indonesia sering kali tidak efektif, dan bahkan sarat dengan praktik korupsi yang menggerus pendapatan yang sebenarnya bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

UNTUK mengurangi ketergantungan pada pajak, Indonesia perlu melakukan reformasi besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Institusi yang kuat dan transparan sangat penting agar hasil kekayaan alam bisa dinikmati seluruh rakyat. Adam Smith dalam The Wealth of Nations menyatakan bahwa “pajak adalah kewajiban sosial, tetapi negara wajib mengembalikan manfaatnya kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan nyata”. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola pendapatan negara agar bisa dirasakan langsung oleh rakyat.

UNTUJ memastikan pajak tidak menjadi beban berlebih bagi rakyat, pemerintah dapat mempertimbangkan langkah-langkah berikut:

Optimalisasi Pendapatan dari Sumber Daya Alam: Pengelolaan sumber daya alam yang transparan dan akuntabel akan mengurangi ketergantungan pada pajak. Pemerintah harus meninjau kembali kontrak-kontrak dengan perusahaan asing, memastikan bahwa kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Transparansi dalam Penggunaan Pajak: Pemerintah harus mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang dibayar masyarakat melalui pajak. Dengan pengawasan yang ketat dan transparansi, masyarakat akan lebih memahami manfaat pajak bagi kesejahteraan bersama.

Mendorong Diversifikasi Ekonomi: Ketergantungan pada sektor pajak dan sumber daya alam saja bisa berisiko dalam jangka panjang. Pemerintah perlu mendorong sektor-sektor lain seperti industri kreatif, teknologi, dan pariwisata untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani rakyat dengan pajak tinggi.

Pajak adalah instrumen vital dalam pembangunan, namun terlalu mengandalkannya tanpa perbaikan kualitas layanan publik hanya akan menimbulkan masalah. Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, yang seharusnya bisa menjadi penopang ekonomi sekaligus mengurangi beban pajak rakyat. (*)