Hari Raya Galungan: Ketika Kemenangan Dharma Menemukan Ruang Sunyi dalam Pikiran

Oleh: I Dewa Gede Sayang Adi Yadnya *)

MINGGU pagi, 16 November 2025, cahaya matahari menyelinap di antara gedung-gedung tinggi yang mengapit Pura Agung Tirta Bhuana Kota Bekasi. Di tengah dinding kaca yang memantulkan hiruk-pikuk kota, suara umat Hindu saling bercampur dengan nyanyi burung yang tersesat di taman kecil kota metropolitan.

Umat Hindu Bekasi bergotong royong (ngayah) menghias pura yang terletak di Jalan Jatiluhur Raya Kalimalang. Mereka sedang mempersiapkan perayaan Hari Galungan pada Rabu 19 November 2025 dan Hari Kuningan pada Sabtu 29 November 2025.

Di kota yang terus bergerak tanpa jeda, persiapan Hari Raya Galungan dan Kuningan menjadi semacam jeda kosmik. Umat Hindu merapikan pelinggih seolah merapikan pikiran yang kusut oleh pekerjaan dan rutinitas. Di bawah keteduhan pura, mereka menemukan ruang kecil untuk kembali menjadi manusia yang utuh, manusia yang bukan hanya bekerja, tetapi juga merawat batin.

Bagi umat Hindu Galungan dan Kuningan selalu mengajarkan kemenangan dharma atas adharma. Namun di kota metropolitan seperti Bekasi, kemenangan itu tidak lagi berbentuk perang simbolik, melainkan pergulatan sunyi melawan gelisah, cemas, dan kesepian yang tinggal di ruang-ruang apartemen sempit dan kantor tanpa jendela. Dharma di kota adalah keberanian menata pikiran, bukan melawan musuh, melainkan melawan diri sendiri.

*Kota yang Bising, Batin yang Sunyi*
Setiap hari, warga kota bergegas menembus kemacetan, mengejar kereta, atau berpacu dengan tenggat waktu. Kota adalah ruang yang tidak pernah tidur, tapi sayangnya juga tidak pernah mendengarkan. Suara klakson menenggelamkan doa-doa kecil dalam hati. Lampu-lampu neon mengalahkan cahaya kesadaran diri. Di kota, manusia mudah menjadi sekadar angka dalam laporan produktivitas.

Tak heran jika laporan kesehatan nasional menunjukkan meningkatnya kelelahan psikologis, stres kerja, kecemasan sosial, hingga depresi.

Kita sedang menjalani kehidupan tanpa hening. Kita bekerja lebih panjang daripada waktu yang kita berikan untuk merawat pikiran.
Karena itu, momentum Hari Raya Galungandan Kuningan datang sebagai oase spiritual. Sebagai pintu masuk kembali ke dalam diri. Sebagai pengingat bahwa manusia tidak hanya perlu makan dan bekerja, tetapi juga diam, memejam, dan merasakan napasnya sendiri.

*Permenkes 11/2025, Negara Mengakui Kekuatan Sunyi*
Ada yang spesial menjelang perayaan Galungan dan Kuningan di akhir tahun 2025 , suara sunyi itu mendapatkan legitimasi. Diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025 awal Oktober lalu hadir sebagai pengakuan bahwa pikiran manusia bukan sekadar wilayah privat yang dibiarkan berjuang sendiri. Melalui peraturan itu, pemerintah resmi mengakui metode teknik olah pikir sebagai metode terapi kesehatan. Teknik terapi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan pikiran untuk memperbaiki fungsi tubuh yang disebut hipnoterapi.

Betapa menarik bahwa apa yang baru sekarang diakui sains dan regulasi, telah ribuan tahun hidup dalam tubuh tradisi umat Hindu di Kota Bekasi. Mantra yang ditenun dalam sembahyang, doa yang mengalir lembut, tapa brata yang ditunaikan dengan kesadaran, dan sembahyang hening yang dilakukan setiap pagi adalah bentuk terapi olah pikir yang telah diwariskan oleh leluhur. Kini, yang tradisional bertemu yang modern. Yang sakral bertemu yang klinis. Yang sunyi bertemu yang ilmiah.

Tentu saja Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu di Kota Bekasi dan seluruh n usantara kemudian menjadi bukan hanya sekedar ritual, tetapi jembatan antara kebijakan negara dan kebijaksanaan batin. Di pura, umat Hindu melakukan apa yang kini disebut sebagai mind-body healing, tetapi dengan kehangatan budaya yang tak tergantikan.

*Olah Pikir Sebagai Jalan Dharma di Kota Patriot*
Dalam kesadaran Hindu, pikiran adalah sumber segala gerak. Pikiran adalah kayon yang mengarahkan seluruh panggung kehidupan. Maka menguasai pikiran adalah menguasai diri. Menaklukkan pikiran adalah kemenangan dharma yang paling hakiki.

Di kota metropolitan seperti di Kota Patriot, Bekasi, adharma hadir bukan dalam sosok raksasa seperti dalam mitologi, melainkan dalam bentuk modern: stres kronis, kecemasan pekerjaan, rasa tidak cukup, kompetisi yang melelahkan, kabar buruk yang tak henti mengalir di ponsel. Adharma hari ini tidak menggertak dari luar; ia merayap dari dalam.

Maka ketika umat Hindu duduk bersila, memejamkan mata, mengatur napas, melafalkan Gayatri, atau menyentuhkan dupa dan menempel bija pada dahi, mereka sedang menundukkan adharma itu. Mereka sedang mengatur ulang irama tubuh yang sempat kacau oleh hidup yang terlalu cepat.

Perayaan Galungan dan Kuningan memberikan legitimasi roh kepada praktik olah pikir itu. Bahwa pikiran yang tenang adalah bagian dari dharma. Bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kesucian hidup.

*Toleransi: Ketika Dharma Turut Menyapa Sesama*
Di kota besar yang penuh pluralitas, perayaan Galungan dan Kuningan juga menjadi panggung toleransi. Pemandangan indah yang selalu tersaji di sekitar Pura Agung Tirta Bhuana Kota Bekasi, tetangga Muslim menghentikan langkahnya sejenak dan berkata, “Selamat Galungan.”

Teman kantor beragama Kristen, Katolik, Budha dan Kong Hu Cu membantu menggantikan jadwal kerja agar rekan yang beragama Hindu bisa pulang melakukan persembahyangan.

Tak hanya itu, para pejabat publik, pimpinan daerah dan pimpinan organisasi keumatan lain menghiasi halaman pura dengan spanduk dan bunga ucapan selamat hari raya. Bahkan, petugas keamanan di Gereja Kristen Jawa yang berlokasi di sebelah pura turut menata parkir demi kelancaran upacara.

Toleransi di Kota Bekasi bukan lagi wacana, melainkan kesadaran sehari-hari. Dan dalam konteks kesehatan mental, toleransi adalah obat sosial yang penting. Ketika seseorang merasa diterima, dipahami, dan dihormati, separuh beban psikologisnya seketika luruh.

Dharma tidak pernah berdiri sendiri. Ia hidup dalam relasi. Ia tumbuh dalam kepedulian. Dan momentum Hari Raya Galungan dan Kuningan mengingatkan bahwa kemenangan spiritual juga berarti kemenangan belas kasih dalam hidup bersama.

*Galungan dan Kuningan: Ruang Pulang di Tengah Kota Metropolitan*
Pada akhirnya, Galungan dan Kuningan adalah perjalanan pulang. Pulang ke diri yang semakin jauh oleh kesibukan, pulang ke keluarga yang sering hanya disapa lewat layar ponsel, pulang ke doa yang sempat terhenti, pulang ke pikiran yang menunggu untuk dijaga.

Di Kota Bekasi, keberadaan Pura Agung Tirta Bhuana berdiri seperti jantung kecil yang terus berdetak di antara gedung-gedung raksasa. Kokohnya penjor yang ditegakkan umat menyambut Hari Galungan dan kuningan menjadi tiang penyangga harapan. Setiap bunga canang yang ditata menjadi pesan kecil dari semesta: bahwa hidup yang baik selalu dimulai dari pikiran yang tenang.

Galungan tahun ini mempertemukan masa depan dan masa lampau. Ia mempertemukan Permenkes 11/2025 dengan mantra Gayatri. Ia mempertemukan psikologi modern dengan filsafat dharma. Ia mempertemukan umat Hindu dengan keberagaman kota. Ia mempertemukan manusia dengan dirinya sendiri.

Kemenangan dharma bukan lagi mitologi. Ia adalah kesehatan mental yang pulih, pikiran yang hening, hati yang mengendur, dan masyarakat yang saling menguatkan.

Di Kota Patriot yang selalu berlari, momentum Hari Raya Galungan dan mengajak kita berhenti sejenak. Mendengarkan napas. Menyadari diri. Dan menyapa sesama dengan kedamaian.

“Selamat Hari Galungan dan Kuningan”. Semoga dharma menyinari kota, menyejukkan pikiran, dan menuntun setiap langkah kembali kepada keseimbangan batin. ***

*) Penulis pemerhati pendidikan dan kesehatan mental anak dan remaja, asesor hipnoterapi pada BNSP RI, tinggal di Bekasi.