Perumahan Rakyat HGB di Atas HPL, Negara Tetap Kuasai Lahan

GERBANGPATRIOT.COM, Banten – Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) RI tengah melakukan pengkajian harga tanah di berbagai kota di Indonesia guna memastikan pembangunan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tetap dapat terlaksana.

Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman RI, Dr. Sri Haryati, S.Pi.,M.Si mengatakan, Menteri PKP akan turun langsung ke sejumlah daerah untuk menyisir tingginya harga tanah yang menjadi kendala pembangunan perumahan tapak. Menurutnya, tidak semua lahan dapat dibangun karena harga tanah yang sudah terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kemampuan Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP).

“Kita melihat harga tanah harus tetap memberikan keuntungan bagi pengembang, tetapi juga harus bisa dicicil oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Oleh karena itu, Pak Menteri bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung harga yang paling pas,” ujarnya kepada wartawan Sabtu, (20/12/2025).

Ia menjelaskan, harga tanah di setiap daerah berbeda karena dipengaruhi oleh Indeks Kemahalan Konsumsi (IKK). Saat ini, konsep kebijakan tersebut sudah ada dan sedang dalam proses pembahasan lebih lanjut.

“Pak Menteri selalu menekankan bahwa kebijakan harus dibicarakan dengan seluruh stakeholder karena nantinya mereka yang akan mengambil keputusan. Dari sisi legal, teknis, hingga perhitungannya, semua menjadi kunci utama. Kami tidak ingin salah hitung,” tegasnya.

Dari sisi penyediaan lahan, Sri Haryati menyebutkan Menteri PKP juga telah meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid untuk mengidentifikasi titik-titik tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL), baik milik pemerintah, BUMN, maupun BUMD.

“Skemanya adalah Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL. Jadi masyarakat nantinya memiliki HGB, sementara HPL tetap milik negara. Tidak ada aset negara yang dilepas,” jelasnya.

Terkait konsep hunian, pemerintah menyiapkan dua skema, yakni rumah susun milik dan rumah susun sewa. Menurut Sri Haryati, generasi Z cenderung memilih hunian sewa sehingga mekanisme tersebut juga sedang disiapkan.

“Kita akan berdiskusi dengan para pengembang dan asosiasi untuk menentukan angka sewa yang paling tepat. Ini tidak hanya melibatkan satu atau dua pengembang, tetapi banyak pihak,” katanya.

Ia juga mengungkapkan, saat ini pemerintah telah memiliki satu proyek percontohan melalui Perumnas yang sedang memasuki tahap pemilihan mitra. Prosesnya masih dalam tahap pemasukan berkas dan dilakukan sesuai tata kelola yang berlaku.

“Jika nantinya Perumnas tidak bekerja sama dengan pengembang, maka harga yang ditetapkan sudah termasuk harga subsidi. Namun, saya belum bisa menyampaikan angkanya karena tata kelola harus dijaga,” ujarnya.

Sri Haryati menegaskan, standar ukuran rumah subsidi tidak mengalami perubahan, yakni tetap 21/36. Ia mencontohkan kondisi di Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat, yang memiliki sekitar 29 ribu penduduk, dengan 25 ribu di antaranya merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.

“Menteng dikenal sebagai kawasan elit, tapi faktanya banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dari kondisi itu, kami menginisiasi program gotong royong bersama pemerintah daerah melalui CSR,” ungkapnya.

Program tersebut dimulai dari dua unit rumah dan ditargetkan berkembang hingga sedikitnya 50 rumah. Ke depan, pemerintah juga akan mendata rumah-rumah warga yang memiliki usaha agar kawasan tersebut dapat dikembangkan sebagai pusat ekonomi masyarakat.

“Kami ingin mendeskripsikan wilayah itu sebagai kawasan ekonomi yang hidup, bukan sekadar bantuan perumahan,” pungkasnya.

( Yuyi Rohmatunisa)