Hari Ibu dan Tanggung Jawab Melindungi Kesehatan Fisik, Mental, dan Kehormatannya
GERBANGPATRIOT.COM, Bekasi – ”Memaknai Momentum Hari Ibu dengan Menghadirkan Perlindungan terhadap Kesehatan Fisik, Mental dan Kehormatannya“
Refleksi QS Maryam ayat 23-26
Al Qur’an dalam surat Maryam ayat 23–26 menghadirkan potret seorang ibu yang jarang dibicarakan secara jujur sebelum era disrupsi 10 tahun terakhir, sosok ibu yang mengalami kelelahan, kesepian, dan keguncangan batin. Maryam ditampilkan bukan sebagai figur tanpa air mata, melainkan manusia yang berada di titik terendah hidupnya. Di sinilah, Al-Qur’an mengajarkan bahwa kemuliaan ibu, lahir dari perjuangan yang nyata dalam menjalankan peran penciptannya.
Wahbah az Zuhaili dalam tafsir Al Munir menjelaskan bahwa rasa sakit kontraksi saat melahirkan, memaksanya (Maryam) untuk bersandar dan berpegang pada pohon kurma untuk memudahkan melahirkan. Ungkapan Maryam, _“Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan,”_ mencerminkan kelelahan ekstrem yang sedang dirasakan, yaitu fisik dan mental. Dia (Maryam) lalu berangan-angan untuk mati sebelum terjadi hal itu, karena malu dari manusia dan takut jika mereka menganggapnya sebagai orang yang buruk dalam agama. Atau dia berangan-angan menjadi sesuatu yang tidak diindahkan dan tidak dianggap oleh siapapun , seperti sebatang tonggak dan tali. Atau dia berangan-angan jika tidak diciptakan dan tidak berupa apapun, lanjut az Zuhaili. Al Qur’an mengabadikan kalimat Maryam ini, seolah menegaskan bahwa rasa sakit saat melahirkan dan keguncangan batin yang dialami adalah sah untuk diakui, yang merekomendasikan hadirnya empati bagi para ibu yang sedang dan baru melahirkan, dari suami, keluarga besar, dan tenaga kesehatan yang menangani.
Empati yang dibutuhkan adalah kemampuan menghadirkan diri secara utuh, memahami rasa sakit tanpa meremehkan, dan menahan diri dari menuntut kesempurnaan. Empati bagi ibu yang melahirkan, adalah penyangga yang membuat rasa sakit bisa ditanggung dan proses pemulihan berjalan lebih manusiawi. Dalam banyak kasus, kehadiran suami direduksi pada peran administratif, menandatangani berkas atau menunggu kabar dari tenaga kesehatan. Padahal, kehadiran emosional, kalimat yang menenangkan, sikap sabar, dan perlindungan dari tekanan luar, sering kali lebih bermakna daripada solusi praktis. Ketika empati suami hadir, ibu merasa aman, dan sebaliknya, ibu bisa merasa sendirian, bahkan di tengah keramaian saat empati absen.
Empati tidak berhenti pada relasi pasangan. Keluarga besar juga memegang peran penting. Niat membantu sering kali berubah menjadi tekanan, ketika disertai penilaian, perbandingan, atau tuntutan. Pertanyaan tentang cara melahirkan, pilihan menyusui, atau kecepatan pemulihan, dapat melukai batin ibu yang sedang rapuh. Di titik ini, empati berarti menahan komentar, memberi ruang, dan menawarkan bantuan nyata. Tenaga kesehatan pun tidak terlepas dari upaya menghadirkan empati, bahasa yang lembut, penjelasan yang jelas, dan pengakuan atas rasa takut ibu, dapat mengurangi kecemasan dan trauma yang berpotensi terjadi.
_Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu._ Melalui ayat ini, seakan Allah ingin memastikan bahwa kesedihan ibu setelah melahirkan, berpeluang menghampiri, maka jangan diabaikan. Sapalah dengan suara yang rendah nan lembut, dan yakinkan bahwa Allah tidak akan melupakannya dan meninggalkannya, dengan menyediakan kebutuhan paling dasar, yaitu air yang sehat, yang mengalir. Sehingga, harapan dan kebahagiaan membasahi relung jiwa seorang ibu. Inilah bukti bahwa Al Qur’an sudah mengajarkan pemulihan emosi ibu dan penjagaan kesehatan mentalnya sebagai prioritas, jauh sebelum menjadi isu di era media sosial ini.
Kemudian Allah memerintahkan Maryam untuk menggoyangkan pangkal pohon kurma agar buahnya jatuh, menjadi simbol pemenuhan makanan terbaik bagi ibu yang sedang nifas. Kita juga menemukan keseimbangan penting antara rahmat dan ikhtiar, dalam kondisi paling lemah, Maryam tetap diminta untuk berusaha, bukan sebagai beban, melainkan sebagai pengakuan atas nilai perjuangan seorang ibu. Sekecil apa pun ikhtiar ibu, ia bernilai dan layak dihormati. Pesan ini sangat relevan dengan realitas sosial hari ini, banyak ibu bekerja dalam kelelahan senyap, menjalankan peran domestik dan publik sekaligus, namun jerih payahnya kerap tidak mendapatkan penghargaan yang layak.
Allah menutup rangkaian perlindungan kesehatan mental ibu dan fisiknya dengan perlindungan sosial. Maryam diminta untuk diam dan tidak merespon stigma negatif yang dilontarkan manusia kepadanya, Allah mengambil alih pembelaan atas kehormatannya. Dalam konteks kekinian, pesan ini terasa sangat aktual, dengan perkembangan teknologi digital, media sosial, dan gaya hidup yang serba cepat, ibu memikul peran yang semakin kompleks, menjadi pengasuh, pendidik, manajer rumah tangga, sekaligus penopang ekonomi keluarga. Tuntutan multitasking, paparan informasi tanpa batas, perbandingan sosial di media digital, serta tekanan ekspektasi masyarakat seringkali menimbulkan stres, kecemasan, kelelahan fisik dan emosional (burnout), bahkan gangguan kesehatan mental. Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan, lingkungan yang lebih terbuka dan mendukung tanpa stigma menjadi dukungan yang paling diharapkan oleh 75,5% dari 928 responden perempuan Indonesia.
Memaknai momentum hari ibu, adalah menghadirkan empati, dukungan nyata, serta perlindungan terhadap kesehatan fisik, mental, dan kehormatannya. Saat ibu memiliki mental yang kuat, fisik yang sehat dan hati yang tenang, ia mampu menjadi sumber energi konstruktif, penentu iklim psikologis positif, pembimbing penuh cinta serta sekolah pertama bagi generasi bangsa. Selamat hari ibu, untuk semua ibu dan calon ibu, yang sedang berjuang menjalankan peran penciptaannya di bawah cahaya Pemilik kehidupan.(Ls)

