DPRD: Inkonsistensi Rekomendasi Walikota atas Peruntukan Hotel Mustika
GERBANGPATRIOT.COM – Ketua komisi I DPRD kota Bekasi Chairoman Joewono Putro mempertanyakan penggabungan dua aspek yang berbeda antara fungsi hotel yang berorientasi pariwisata dengan tempat penampungan pengungsi.
DPRD merasa perlu memastikan apa bentuk rekomendasi yang telah dikeluarkan Walikota, karena hingga hari ini pihaknya belum mendapatkan salinan rekomendasi tersebut.
“Pertanyaannya adalah ketika berbenturan dengan aspek legalnya kenapa tiba tiba diubah menjadi hotel Mustika? Kalau hotel itu membutuhkan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), jelas hotel memang bukan untuk penampungan pengungsi akan tetapi orientasinya pariwisata, sementara pengungsi jelas harus tempat pengungsian namanya. Dua aspek tersebut tidak boleh digabungkan,” ujarnya kepada gerbangpatriot.com lewat telepon selulernya, Selasa (15/1/2019).
Ketika kota Bekasi memberikan TDUP-nya untuk hotel lalu tiba-tiba dapat digunakan untuk tempat penampungan ini telah melanggar peraturan yang ada.
“Saya khawatir terjadi Inkonsistensi kebijakan peruntukan di mana antar rekomendasi yang dikeluarkan oleh walikota, tujuan dari pada tempat tersebut digunakan dengan yang keluar berupa hotel itu bertentangan dan kita sangat hati-hati sekali,” terangnya.
Chairuman juga menyatakan pihaknya pernah berdiskusi dengan kepala kantor imigrasi yang menegaskan peraturan yang sama.
“Memang harus demikian, harus bersamaan atau berada dengan kota/kabupaten tempat rudenim yang ada di luar itu sesungguhnya tidak diperbolehkan. Pertanyaannya adalah awalnya ini kan perusahaan PJTKI yang kemudian sudah tidak lagi beroperasi mungkin karena bangkrut dan sebagainya, akhirnya mau dimanfaatkan untuk hotel tapi dalam perkembangannya untuk pengungsian,” imbuhnya.
Nanti, kata Chairuman, pihaknya akan melakukan sidak ke tempat tersebut dan akan memanggil beberapa pihak terkait seperti kantor imigrasi, Kabag Hukum, Kesbangpol, termasuk Polres untuk mengetahui duduk perkara ini.
Dampak dan Bahayanya?
“Ketika TAS itu ditempatkan pada kantor imigrasi yang memang belum disiapkan untuk tempat pengungsian akan muncul masalah-masalah sosial. Akibatnya warga di lokasi menjadi korban, karena kekerasan, seksual, penyakit menular, perampokan dan lain lain,” ucapnya.
Pihaknya berharap tidak ada kepentingan yang sifatnya ekonomi, memaksakan kehendak penampungan sementara dengan berbagai cara yang kemudian dampaknya sudah ketahuan.
“Kita tidak mau masyarakat sekitarnya mendapat dampak sosial yang tidak terkendali.
Maka kita berharap konsultasi terlebih dahulu diberikan sehingga
Kemenkumham memberikan rekomendasi secara tertulis memberikan perubahan Perpresnya. Karena membatasi peraturan tersebut tidak boleh di luar kota/ kabupaten yang tidak punya rudensi (rumah detensi imigrasi),” tukasnya.
Sesuai Perpres nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (Rumah Detensi Imigrasi) ditegaskan bahwa Rumah Detensi Imigrasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota setempat untuk membawa dan menempatkan pengungsi dari tempat ditemukan ke tempat penampungan.
Dalam hal tempat penampungan belum tersedia, Pengungsi dapat ditempatkan di Tempat Akomodasi Sementara (TAS) yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pemerintah daerah kabupaten/kota, menurut Perpres ini, menentukan Tempat Penampungan bagi Pengungsi, yang harus memenuhi kriteria:
- dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan ibadah;
- berada pada satu wilayah kabupaten/kota dengan Rumah Detensi Imigrasi dan
c. kondisi keamanan yang mendukung.
“Sementara di Kota Bekasi tidak ada Rudenim, sedang tidak diperbolehkan didirikannya Tempat Akomodasi Sementara (utk Pengungsi), “pungkasnya. (dns)