Sekolah Rakyat dalam Kenyataan, Kisah Riil dari SMAN Sumsel
GERBANGPATRIOT.COM, Jakarta — Piala demi piala pernah diserahkan panitia lomba kepada Dalila, remaja asal Lahat, Sumatera Selatan. Namun, ia selalu menolaknya. “Tolong tukar pialanya dengan uang saja,” begitu pintanya setiap kali menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Bukan karena tak bangga, tetapi karena kebutuhan: membayar SPP, membeli buku, atau membantu ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci.
Dalila adalah satu dari sekian kisah siswa SMA Negeri Sumatera Selatan, sekolah berasrama penuh di Palembang yang sejak 20O9 memberi kesempatan kepada anak-anak dari keluarga sangat miskin untuk mendapatkan pendidikan bertaraf internasional secara gratis. Ia lulus sebagai yang terbaik dari madrasah tsanawiah di desanya dan melanjutkan ke SMAN Sumsel—tempat anak-anak dari keluarga tukang becak, buruh pelabuhan, dan penjual kue bertransformasi menjadi ilmuwan, dokter, hingga pemimpin masa depan.
Sekolah ini bukan sekolah biasa. Berdiri di Jakabaring, Palembang, SMAN Sumsel adalah hasil kerja sama antara Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Putera Sampoerna Foundation. Alex Noerdin, Gubernur Sumsel kala itu, meluncurkan proyek ini dengan semangat memutus mata rantai kemiskinan lewat pendidikan.
Sekolah ini menampung 120 siswa terbaik dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan setiap tahun. Mereka diseleksi ketat, tidak hanya berdasarkan nilai akademik, tetapi juga latar belakang ekonomi. Tim seleksi bahkan melakukan kunjungan rumah untuk memastikan calon siswa memang berasal dari keluarga tidak mampu.
Alex Noerdin menceritakan bahwa dalam proses seleksi awal, ia bersama timnya menemukan Dalila kecil yang hidup bersama nenek dan ibunya yang mengalami disabilitas. Sembilan tahun kemudian, berkat pendidikan dan beasiswa yang diterimanya di SMAN Sumsel, Dalila berhasil menjadi dokter dan menjalani masa internship di RS Pertamina.
“Sekolah ini membuktikan bahwa kemiskinan bukan akhir cerita. Anak-anak dari keluarga paling sederhana pun bisa bersaing di tingkat global,” ujar Alex
.
Seluruh biaya pendidikan ditanggung penuh oleh pemerintah daerah—mulai dari makan, seragam, hingga kegiatan ekstrakurikuler. Siswa wajib berbahasa Inggris sepanjang hari. Mereka bahkan mengelola siaran radio internal sekolah dalam bahasa Inggris. Tidak heran jika banyak pejabat yang berkunjung justru merasa sungkan karena kendala bahasa.
SMAN Sumsel menggabungkan kurikulum nasional dan internasional Cambridge. Lulusannya diterima di berbagai kampus bergengsi, seperti Universitas Indonesia, ITB, hingga kampus luar negeri di Amerika Serikat dan Australia. Shinta Dwi Nourma, misalnya, siswi asal Sekayu yang berhasil meraih beasiswa penuh KC Kuok untuk kuliah di Monash University, Australia.
Di samping keunggulan akademik, siswa SMAN Sumsel juga aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat dan organisasi. Mereka didorong untuk menjadi pemimpin, wirausahawan, dan warga dunia yang peduli.
Kini, lebih dari 600 alumni telah dilahirkan. Banyak di antaranya mendapat beasiswa S-1 bahkan S-2 di luar negeri. Meski begitu, masa depan sekolah ini tak lepas dari dinamika kebijakan. Isu pemotongan subsidi pada 2023 sempat mengemuka, meski kemudian dibantah.
“Model ini layak dijaga, bahkan ditiru. SMAN Sumsel sudah terbukti sebagai sekolah berkeadilan,” kata Gusman Yahya dari Putera Sampoerna Foundation.
Di tengah langkah Presiden Prabowo Subianto membangun sekolah rakyat, SMAN Sumsel telah membuktikan bahwa gagasan itu bukan utopia. Sekolah ini adalah cermin bahwa ketika negara hadir dengan keberpihakan yang tepat, anak-anak dari keluarga termiskin sekalipun mampu meraih dunia. (ihd)